Dari sejak jaman dulu, sewaktu kecil ke sana. Sewaktu ada sado menuju arah ke sakkaran. Kota ini merupakan kota yang terindah yang pernah diciptakan Tuhan untuk ku. Mama kami berasal dari sini. Sakkaran na godang. Sekitar dua sepuluh menit dari pusat kota. Maju menuju arah sipirok, ada huta Sitompul. Bapak kami lahir di sini. Oppung pun memulai kehidupan setelah mengitari ribuan kilometer perantauan dari pertapakan tanah disini. Ketenangan kota ini bisa merasuki jiwa mu yang paling kasar sekalipun. Dulu, setiap orang menjadi pedestrian disepanjang jalan kota kecil. Masing masing biasanya melingkarkan mandar, sarung ke bagian leher. Terkadang diselempangkan secara diagonal di tubuh. Ini membantu tubuh kita tetap hangat. Sekarang, dari pusat kota tenang ini, mata kita bisa menangkap bahwa kota ini dibawah kekuasaan bukit barisan. Induk dolok Martimbang pada jam di bawah pukul dua belas siang, biasanya tertutup sebagian dari kaki gunung, dan puncaknya akan mengintip kita dengan senyum. Tidak hanya Martimbang, ke arah huta simorangkir dan hutabarat. Jangan sungkan lemparkan pandangan ke Siatas Barita. Mudah mudahan kita ada di tengah kota pada pukul tujuh malam. Kita bisa melihat surga di depan kita. Lampu temaram salib kasih, pastilah menampar kedigdayaan angkuh kita. Terbayang sesosok tubuh di atas sana.
Ratusan tahun yang lewat, tanpa kita tau siapa yang menemani. Kita tidak pernah tau apa yang digunakannya tidur di kedinginan puncak bukit. Nomensen. Oppu i. Syukur pada Mu Tuhan. Tuhan mengirimkan orang kudus ini. Bagaimana hidup kami setelah mati kalau Tuhan sampai lupa menjalin seorang Lodewijk Nomensen di rahim ibunya. Yang lahir persis ketika leher Munson dan Leman disembelih oleh leluhur kami yang tidak mengerti apa itu kebenaran dan terang. Ibu seperti apa yang melahirkan seorang nabi. Yang menjanjikan kepada Mu Tuhan seorang bayi yang dikandung selama sembilan bulan lebih dengan sejuta penderitaan. Tuhan memilih ibu mulia itu untuk mempersembahkan seorang Nomensen untuk kami. Ibu mulia. Padahal dia tau, kemungkinan anaknya menjadi korban kanibalisme sangatlah besar. Ibu mana yang mampu bahkan hanya sekedar memikirkan ini ?
Tarutung dulu sudah ada sebelum politik ada. Silindung sudah menjadi lembah sebelum kekuasaan menjadi tinggi. Aek sigeaon sudah dialiri dinginnya air sebelum gedung pemerintah didirikan. Tarutung tidak mengenal apa itu perintah. Tidak memperdulikan apa itu kekuasaan. Tarutung adalah ketenangan jiwa. Ketulusan hati. Ketegaran semangat. Gunung batu pun, menjadi ramah mengeluarkan apa yang bisa dimakan oleh leluhur. Siapa kah kamu ? Lurah ? Camat ? Bupati ? Pemimpin Partai ? Anda belum ada sewaktu air soda di hutagalung mengalir dari perut martimbang. mungkin saja anda bukan siapa siapa sewaktu cincin awan setia melingkari leher bukit barisan. Harta mu memang berlimpah, dan jari telunjuk mu adalah kuasa. Tapi silindung dan tarutung adalah tumpah darah leluhur mu. Saya kuatir bahkan tali pusar mu di tanam di bumi ini. Kami tidak tau dimana anda selama ini mencari nafkah. Apa yang anda lakukan untuk mengumpulkan semua harta benda dan semua keinginan membubung untuk hanya sekedar memiliki segelintir kekuasaan.
Banyak orang menginginkan sesuatu dan mendapatkan. Lebih banyak lagi yang menginginkan sesuatu tapi tetap tidak mendapatkannya. Itu bukan alasan buat siapapun untuk mengajak siapapun mencari siapapun untuk dijadikan tempat pelampiasan kekecewaan.
Tarutung adalah nurani tenang. Kami mohon jangan rubah dengan kejeniusan politik mu. Mohon bersabar. Mundurlah dari Silindung. Kalau anda dikalahkan seperti menurut anda, dengan cara curang. Bersabarlah. Nomensen jauh lebih menderita dari sekedar kehilangan sekian milyar rupiah harta anda. Uang dapat dicari. Dan kami yakin anda adalah orang yang lebih mampu dari apa yang kami kira. Tinggalkan lah Tarutung. Tidak perlu berlama lama memuntahkan kekotoran jiwa orang orang di setiap jejak jalanan tarutung. Kami hanya menginginkan air sungai kami tetap mengalir. Embun di atas kami tetap mengambang tenang. Bawalah uang dan ambisi mu kemana anda mau. Tinggalkan kami di sini. Tarutung, please don't cry.