Sejatinya Pui Ang adalah salah satu laki-laki yang kadar ketakutannya paling rendah dibandingkan laki-laki lain. Tidak ada satu hal apapun yang bisa menggetarkan ketakutannya. Kemampuannya dalam berpikir dan menyelesaikan masalah yang paling pelik tidak bisa dibilang rendah.
Pui Ang adalah laki-laki yang tidak dapat digerakkan oleh rasa haru biru dari masalah apapun. Segala apa yang sedang dan akan terjadi dalam perjalanan hidupnya adalah berdasarkan perkiraan yang mampu dihitung sebelumnya melalui pemikiran yang sungguh cermat dan cemerlang.
Tetapi sekarang, Pui Ang sang laki-laki perkasa ini sedang berusaha keras untuk memastikan tempurung lututnya mampu membuat tungkai dan telapak kaki berdiri kokoh di atas rumputan tanah pusara. Ujung alas kaki nya hampir menyentuh batu nisan pusara wanita terhormat yang puing-puing jasadnya berada beberapa galian di bawah permukaan bumi.
Kondisi Pui Ang sungguh mengenaskan.
Kepalanya kosong sama sekali tanpa isi, kecuali gema suara anggun mengancam yang tadi berasal dari mulut Yen Ang :
'Bicaralah pada diri mu Pui Ang, tentang apa yang sudah engkau ucapkan sendiri'.
Pui Ang mengerti ada sesuatu yang harus dibuktikan hari ini. Permintaan yang dirasakannya sungguh mengagetkan seluruh indera perlahan ditelan di dalam pikiran. Kejernihan perasaan segera menemukan pesan jelas dari permintaan itu :
Kepala Pui Ang semakin menunduk dengan dahi hampir sejajar dengan penutup pusara. Dia tidak berani menoleh tetapi memberanikan diri melirik ke arah Yen Ang.
Dengan segala kemampuan yang tersisa padanya, Pui Ang berusaha menarik nafas dalam-dalam demi mengumpulkan udara sepenuh-penuhnya mengisi paru-paru. Suaranya sungguh sangat bergetar ”
’Nenek, seandainya kalian sekarang ada di sekitar sini, tolong dengarkan aku’.
Pui Ang merasakan kengerian yang luar biasa menggeluti kepalanya. Tubuhnya mulai bergetar sangat pelan. Dengan tarikan nafas yang mulai tersendat, Pui Ang meneruskan kalimat yang sudah disusun di ujung lidah :
’Aku, Pui Ang. Mencintai keturunan mu, yang kecantikan, kebaikan, dan keanggunannya sungguh merasuki sudut-sudut jiwa. Melekat di seluruh tulang belulang dan rongga hati’.
’Aku, Pui Ang. Menyerah pada pengharapan hati yang semakin larut pada keinginan memiliki cinta dari seorang keturunan mu, Yen Ang’.
Sampai disini Pui Ang, laki-laki perkasa itu menyerah pada kenyataan bahwa dirinya tidak lagi punya kekuatan untuk sekedar menggerakkan lidah. Pui Ang membuang jauh-jauh kehormatan seorang laki-laki. Rasanya waktu sudah semakin terbatas.
’Menyakiti pendengaran Yen Ang, keturunan mu, adalah kenistaan pada tengkorak kepala ku’.
’Menodai penglihatan Yen Ang, keturunan mu, merupakan penghinaan atas kesempurnaan jantung dan hati ku’.
’Melukai hati Yen Ang, perempuan yang ku hormati itu, keturunan mu, sama dengan merendahkan seluruh kehormatan yang ada di dalam harga diri ku’.
Selesai menghibakan kalimat ini, Pui Ang merasakan kelegaan yang luar biasa seperti baru saja menikmati berjuta juta galon udara segar merasuki ruang dada nya.
Dengan tangan yang dibiarkan terjuntai lemah di sisi tubuh, Pui Ang menengadahkan kepala mengarah ke awan. Pui Ang tidak lagi menangis. Tidak lagi bicara. Pui Ang terdengar seperti bersenandung :
’Aku, Pui Ang. Mencintai keturunan mu Yen Ang, dengan seluruh kesungguhan hati’.
Untuk beberapa saat lamanya Pui Ang membiarkan angin yang tetap berlarian diantara pusara-pusara taman Edonia, mengelusi kulit wajahnya yang sekarang sudah dipenuhi senyum yang penuh kejujuran dari seorang laki-laki terhormat.
Setelah merasa segala sesuatunya sudah selesai, Pui Ang membuka mata dan segera mencari sosok sang kekasih.
Yen Ang masih berdiri anggun menggenggam kedua tangannya sendiri dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan halus. Wajahnya penuh oleh keindahan senyum yang memabukkan kerinduan Pui Ang.
Suasana Taman Edonia semakin redup. Matahari sudah jauh menusuk perut bumi dan hanya menyisakan sedikit pendar pendar sinar. Sudah waktunya buat mereka berdua untuk meninggalkan tempat yang melegakan perasaan ini. Dengan penuh hormat dan cinta, Pui Ang meraih tangan kekasih hatinya :
’Yen Ang, sudah hampir malam. Kita pulang sekarang’.
Kereta yang mereka kendarai perlahan meninggalkan seluruh ketenangan dan kedamaian Edonia. Di belakang mereka rumputan menari halus dielus angin. Burung-burung kecil terbang rendah saling mengejar pasangan. Matahari semakin memasuki perut bumi. Sebentar lagi Edonia akan ditelan kegelapan malam.