Sabtu, 26 September 2009

*** MENUJU ISTANA KAKI LANGIT... (ke-tiga)

Sumpah di pusara nenek....

Sejatinya Pui Ang adalah salah satu laki-laki yang kadar ketakutannya paling rendah dibandingkan laki-laki lain. Tidak ada satu hal apapun yang bisa menggetarkan ketakutannya. Kemampuannya dalam berpikir dan menyelesaikan masalah yang paling pelik tidak bisa dibilang rendah.
Hidupnya selalu diletakkan pada kedua belah telapak tangannya yang kukuh dan seluruh perkara-perkara yang mencoba menghalangi gerak maju langkah kakinya bisa ditaruhkan di bahu nya yang kekar terlatih. Bahu ini nantinya menjadi tempat yang paling disukai oleh Yen Ang untuk menyandarkan tulang wajahnya demi menjemput ketenangan hati.
Pui Ang adalah laki-laki yang tidak dapat digerakkan oleh rasa haru biru dari masalah apapun. Segala apa yang sedang dan akan terjadi dalam perjalanan hidupnya adalah berdasarkan perkiraan yang mampu dihitung sebelumnya melalui pemikiran yang sungguh cermat dan cemerlang.

Tetapi sekarang, Pui Ang sang laki-laki perkasa ini sedang berusaha keras untuk memastikan tempurung lututnya mampu membuat tungkai dan telapak kaki berdiri kokoh di atas rumputan tanah pusara. Ujung alas kaki nya hampir menyentuh batu nisan pusara wanita terhormat yang puing-puing jasadnya berada beberapa galian di bawah permukaan bumi.
Kondisi Pui Ang sungguh mengenaskan.
Laki-laki hebat itu berubah wujud menjadi seorang lemah yang dayanya hanya seukuran butir debu. Air mukanya berubah keruh dengan warna kulit yang memucat seperti berhenti seluruh aliran darah.
Kepalanya kosong sama sekali tanpa isi, kecuali gema suara anggun mengancam yang tadi berasal dari mulut Yen Ang :

'Bicaralah pada diri mu Pui Ang, tentang apa yang sudah engkau ucapkan sendiri'.

Pui Ang mengerti ada sesuatu yang harus dibuktikan hari ini. Permintaan yang dirasakannya sungguh mengagetkan seluruh indera perlahan ditelan di dalam pikiran. Kejernihan perasaan segera menemukan pesan jelas dari permintaan itu :
’Yen Ang ingin melihat seberapa tinggi kebohongan hati dan seberapa besar kejujuran niat’.
Penemuan ini sempat membuat hati Pui Ang ditutupi mendung :
’Sungguh betapa tega Yen Ang meragukan seluruh ketulusan rencana dan harapan yang sudah diletakkan Pui Ang di hadapan kakinya’.
Pui Ang berusaha keras menyadarkan seluruh hidupnya tentang keharusan untuk meyakinkan perempuan agung yang menjadi cita-cita cintanya.
Kepala Pui Ang semakin menunduk dengan dahi hampir sejajar dengan penutup pusara. Dia tidak berani menoleh tetapi memberanikan diri melirik ke arah Yen Ang.
Yang dilirik sedang berdiri mematung dengan tatapan mata melekat tepat di atas batu nisan di tempat mana nama perempuan yang begitu dia hormati, diukirkan dengan hurup yang indah.

Dengan segala kemampuan yang tersisa padanya, Pui Ang berusaha menarik nafas dalam-dalam demi mengumpulkan udara sepenuh-penuhnya mengisi paru-paru. Suaranya sungguh sangat bergetar ”

’Nenek, seandainya kalian sekarang ada di sekitar sini, tolong dengarkan aku’.

Pui Ang merasakan kengerian yang luar biasa menggeluti kepalanya. Tubuhnya mulai bergetar sangat pelan. Dengan tarikan nafas yang mulai tersendat, Pui Ang meneruskan kalimat yang sudah disusun di ujung lidah :

’Aku, Pui Ang. Mencintai keturunan mu, yang kecantikan, kebaikan, dan keanggunannya sungguh merasuki sudut-sudut jiwa. Melekat di seluruh tulang belulang dan rongga hati’.

’Aku, Pui Ang. Menyerah pada pengharapan hati yang semakin larut pada keinginan memiliki cinta dari seorang keturunan mu, Yen Ang’.

Sampai disini Pui Ang, laki-laki perkasa itu menyerah pada kenyataan bahwa dirinya tidak lagi punya kekuatan untuk sekedar menggerakkan lidah. Pui Ang membuang jauh-jauh kehormatan seorang laki-laki. Rasanya waktu sudah semakin terbatas.
Apa yang dirasakannya harus dilakukan adalah mengeluarkan seluruh kejujuran yang ada di dalam hati. Pui Ang tidak lagi bicara, sekarang laki-laki itu benar-benar menangis :

’Menyakiti pendengaran Yen Ang, keturunan mu, adalah kenistaan pada tengkorak kepala ku’.

’Menodai penglihatan Yen Ang, keturunan mu, merupakan penghinaan atas kesempurnaan jantung dan hati ku’.

’Melukai hati Yen Ang, perempuan yang ku hormati itu, keturunan mu, sama dengan merendahkan seluruh kehormatan yang ada di dalam harga diri ku’.

Selesai menghibakan kalimat ini, Pui Ang merasakan kelegaan yang luar biasa seperti baru saja menikmati berjuta juta galon udara segar merasuki ruang dada nya.
Pui Ang tidak lagi menunduk. Kepalanya ditarik untuk menengadah. Pui Ang sekarang tersenyum penuh kemenangan setelah mengetahui dirinya mampu menyelesaikan seluruh tugas yang menjadi pertaruhan kehidupan cintanya.
Dengan tangan yang dibiarkan terjuntai lemah di sisi tubuh, Pui Ang menengadahkan kepala mengarah ke awan. Pui Ang tidak lagi menangis. Tidak lagi bicara. Pui Ang terdengar seperti bersenandung :

’Aku, Pui Ang. Mencintai keturunan mu Yen Ang, dengan seluruh kesungguhan hati’.

Untuk beberapa saat lamanya Pui Ang membiarkan angin yang tetap berlarian diantara pusara-pusara taman Edonia, mengelusi kulit wajahnya yang sekarang sudah dipenuhi senyum yang penuh kejujuran dari seorang laki-laki terhormat.
Setelah merasa segala sesuatunya sudah selesai, Pui Ang membuka mata dan segera mencari sosok sang kekasih.
Yen Ang masih berdiri anggun menggenggam kedua tangannya sendiri dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan halus. Wajahnya penuh oleh keindahan senyum yang memabukkan kerinduan Pui Ang.

Suasana Taman Edonia semakin redup. Matahari sudah jauh menusuk perut bumi dan hanya menyisakan sedikit pendar pendar sinar. Sudah waktunya buat mereka berdua untuk meninggalkan tempat yang melegakan perasaan ini. Dengan penuh hormat dan cinta, Pui Ang meraih tangan kekasih hatinya :

’Yen Ang, sudah hampir malam. Kita pulang sekarang’.

Kereta yang mereka kendarai perlahan meninggalkan seluruh ketenangan dan kedamaian Edonia. Di belakang mereka rumputan menari halus dielus angin. Burung-burung kecil terbang rendah saling mengejar pasangan. Matahari semakin memasuki perut bumi. Sebentar lagi Edonia akan ditelan kegelapan malam.

Rabu, 23 September 2009

*** MENUJU ISTANA KAKI LANGIT... (ke-dua)

Taman Edonia...

Laju kereta bagus yang mahal itu melambat sesuai jalanan yang mulai menyempit dan menurun. Pui Ang yang tidak tau apa-apa tentang daerah sekitar situ berkonsentrasi pada kereta dan sekali-kali menoleh ke arah Yen Ang. Meminta petunjuk.

Perempuan ini kelihatan sedikit tegang dengan wajah yang diarahkan lurus ke depan sesuai dengan arah maju kereta yang membawa mereka. Senyum yang tadi lebar dan sedap dilihat sudah tidak berada di sana digantikan oleh bibir yang hanya melukiskan satu garis halus. Mulutnya betul betul ditutup rapat.

Pui Ang berusaha memahami keadaan ini dan tidak berani membuka suara. Kereta dilambatkan lagi jalannya dan Pui Ang menolehkan kepala ke arah Yen Ang :

'Yen Ang, kita ke arah mana ? Apa taman Edonia sudah ada dekat sini. Kita harus kemana ?'

Pui Ang mendesak secara halus takut merusak suasana hati dan pikiran perempuan pujaannya.

.................... on the script........

Taman Edonia ternyata sekali adalah areal pekuburan buat kalangan orang-orang bangsawan. Taman pekuburan ini ada di tanah berbukit dan lembah dengan beberapa telaga kecil, entah dibangun entah memang sejak dulu sudah ada di sana, berada persis dilekukan lembah kecil dan tidak luas.

Di sebelah kanan, Pui Ang memperhatikan ujung taman ini seperti diberi pagar batang-batang pohon dengan ukuran menengah. Lebih besar dari batang kelapa muda tetapi tidak menyamai lingkar batang pohon jati.

Di tengah taman yang betul-betul menggambarkan ketentraman roh ini dibangun jalan dengan ukuran sedang, cukup untuk dua kereta berpapasan, melingkari areal tengah pekuburan.

Ketika Pui Ang melemparkan pandangan mata menyeberangi lembah kecil, laki-laki ini takjub oleh sebuah patung malaikat kecil yang sengaja dibangun dan ditaruh agak di ujung taman.

Posisinya persis di titik tertinggi taman sehingga siapapun dan dari sisi mana pun akan mampu menikmati keindahan hasil seni patung.

.................on the script........

Di sekitar kaki mereka ada tiga batu nisan yang berbeda warna. Salah satu dari ketiga nisan itu berwarna putih sementara yang dua lainnya dari batu alam berwarna hitam pekat mengkilat.

Yen Ang menjalari pelan-pelan satu per satu dari ketiga batu nisan tadi. Pui Ang paham bahwa inilah tujuan akhir perjalanan mereka hari ini.

Laki-laki ini berjalan merapat untuk mendekati Yen Ang.

'Apa yang harus kita lakukan ?' bisiknya pelan.

Mereka hanya berdua di sekitar situ. Memang ada beberapa anak laki-laki kecil yang sedang sibuk membersihkan rumput dan nisan-nisan, tetapi mereka berjarak sekitar puluhan nisan dari tempat Yen Ang berada.

'Bukan aku Pui. Tapi kamu sendiri'

'Kamu harus melakukan sesuatu buat diri mu dan aku'

Pui Ang kebingungan karena sama sekali tidak memahami isi dari kata-kata perempuan ini :

'Aku sendiri ? harus melakukan apa Yen Ang ?'

'Kita percaya roh-roh orang yang sudah mati tidak lagi berada di sini Pui'.

'Tapi aku hanya minta, bicaralah di pusara ini kepada kedalaman hati mu sendiri'

Yen Ang berbicara sangat dingin dengan tidak menoleh sedikit pun ke arah lawan bicaranya. Matanya yang berair jatuh lekat di atas nisan hitam yang nantinya setelah ditanya, nisan ini adalah pusara ibu dari orang tua laki-laki Yen Ang.

Di bawah batu nisan ini, di kedalaman galian tanah, terbaring tenang puing puing tubuh seorang nenek bijak yang sungguh menyayangi dan dihormati Yen Ang.

Pui Ang semakin kelabakan karena menyadari bahwa kepalanya sekarang tanpa isi. Pui Ang sama sekali tidak mengerti tujuan perintah perempuan yang dia kasihi.

'Kenapa roh ? aku harus bicara apa ?'

'Bicaralah pada diri mu Pui Ang, tentang apa yang sudah engkau ucapkan sendiri'

'Bicaralah atas nama kejujuran hati mu tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran niat hati mu untuk membawa ku ke dalam kehidupan kita berdua'.

Sekarang Pui Ang, laki-laki yang sedang mempertaruhkan masa depan hidup dan cinta nya berdiri mematung. Kekakuannya mampu menyaingi patung malaikat kecil di ujung taman Edonia.

Pui Ang menjatuhkan hati nya ke relung yang paling dalam untuk memanggil seluruh kejujuran pikiran, hidup, dan suara hati.

Tubuhnya bergetar hebat. Kejujurannya mengalahkan seluruh pantangan-pantangan kelaki-lakian. Pui Ang menangis dengan bahu yang terhentak hentak keras.

Apapun yang terjadi pada diri Pui Ang saat itu tidak memberi pengaruh apapun buat Yen Ang.

Perempuan teguh ini membiarkan suasana hati mereka sama sekali tidak saling mengenal.

Yen Ang membiarkan angin yang berlarian di atas batu batu nisan dingin mengusapi seluruh permukaan kulit.

Sekarang tergantung kepada Pui Ang : masa depan kehidupan nya.

..............on the script....

Selasa, 22 September 2009

*** MENUJU ISTANA KAKI LANGIT... (ke-satu)

Menjelang sore, sewaktu matahari baru saja bergeser dari posisi puncaknya.......

Angin dengan isian debu membuat rambut laki-laki yang tidak lagi muda ini bergolak melambai. Rambut tipis yang tadi diatur rapi, sekarang mulai kelihatan berantakan. Berdiri di atas dua kaki yang kelihatan kokoh, bukan ! bukan cuman kelihatan, kakinya memang kokoh, tangannya menggantung di sisi badan dengan dua kepalan yang menggenggam. Bahunya ada dalam posisi datar, tapi terlihat direndahkan mengikuti arah mata yang seperti menusuk perut bumi. Kedua matanya sedikit berkilat. Berasal dari air yang tipis membasahi bola mata. Air mata seperti ini diakibatkan gejolak emosi yang ditahan dalam dalam. Laki-laki itu, Pui Ang. Hanya sebagai pekerja. Berusaha keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan empat jiwa lain yang harus ditanggung masa depannya. Dia terpaksa mematung. Nasib cinta dan hidupnya sedang dipertaruhkan sekarang.

Di depan nya. Hanya berjarak tidak lebih dari enam kali ukuran kaki, berdiri anggun perempuan yang selama ini dipuja puji dengan sepenuh hati dan hidupnya. Yen Ang. Perempuan luarbiasa. Pemilik segala impian. Kecantikan, kepintaran, dan kekayaan ada di dalam dirinya. Pui Ang hanya punya dua rasa takut dalam hidupnya : satu, langit akan runtuh; dua, perempuan ini menangis.


Yen Ang memiliki kecantikan yang sungguh luar biasa. Tubuh yang memiliki bentuk sempurna itu, seperti menjulang di atas bahu Pui Ang. Matanya yang tajam penuh permohonan, melekat tepat di ubun-ubun sosok tubuh yang semakin lama semakin menunduk. Pelan-pelan bola matanya yang anggun banjir oleh tangisan.
Suara nya sedikit parau berbisik :

'Pui. Apa yang engkau inginkan dari ku ?'

Seperti dilecut cambuk, Pui Ang tergetar dan mulai mengangkat kepala. Bibirnya tertutup rapat. Dia engga sanggup membuka mulut. Hanya mata yang mulai berani diadu pada tatapan mata perempuan pujaannya.

'cepat bilang, apa yang kau inginkan dari ku Pui ?'.
Yen Ang kembali mendesak. Air mata semakin tumpah mulai membasahi sebagian wajah.

'tolong jawab'. Sekarang suaranya bergetar. Suara tangisan.

'Aku cuman mohon, sediakan sedikit tempat untuk ku di dalam hati mu'.

Pui Ang bilang ini dengan suara yang hampir tidak kedengaran.
Sekarang dia mengangkat dua tangannya. Pui Ang merapatkan dua telapak tangannya yang semakin bergetar, seperti orang sedang memohon.

'Ku mohon, demi segala kejujuran yang ada di hati ku, aku mohon sedikit tempat'.

Yen Ang sudah tidak bisa menahan diri lagi. Suaranya semakin keras menangis. Jawaban ini betul-betul di luar akal sehatnya. Laki-laki ini sungguh sangat tidak romantis. Tega betul tidak mengajukan permohonan selayaknya seorang laki-laki mengajukan lamaran untuk kekasih hidupnya. Sama sekali tidak. Tapi dia tau, itu kalimat yang tersisa dalam pikiran laki-laki yang diam-diam disayangi.

Sebelum ini Yen Ang berusaha menyadarkan Pui Ang bahwa niatnya untuk menjadikan diri nya sebagai istri sebaiknya cepat-cepat dihapuskan. Keinginan ini adalah keinginan yang sungguh tidak masuk akal. Yen Ang terikat norma lain yang sebenarnya menjadi penghalang kemungkinan terwujudnya keinginan itu.


Yen Ang bisa menerima permohonan Pui, walaupun harus menanggung segala resiko sulit, termasuk kehilangan kehidupannya. Yen Ang hanya ragu dengan keteguhan niat Pui Ang. Matanya tidak bisa melihat jelas karena sudah dihalangi air mata yang meluap. Yen Ang berusaha keras mencari tau kejujuran apa yang ada dalam hati Pui Ang melalui sinar mata nya.

Ada satu cara yang Yen Ang tau untuk menggali seberapa dalam kejujuran niat Pui Ang. Pui Ang adalah orang yang sangat cinta dan menghormati leluhur. Dia bukan penyembah berhala, tetapi sungguh menghormati segala sesuatu yang sudah dimulai oleh para leluhur. Yen Ang menyentuh punggung tangan Pui Ang :

'Pui, kita ke taman edonia sekarang'.

Pui Ang terlihat akan mengajukan satu soal. Yen Ang menghalangi niat ini :

'kita harus ke sana sekarang Pui. engga boleh ditunda'.

Pui Ang memaksakan diri untuk cepat-cepat bertanya :
'siapa yang kita temui di sana ?'.

Yen Ang bicara tegas : 'batu nisan semua leluhur ku'.

Yen Ang agak sedikit kecewa dengan perlawanan ini :

'kenapa Pui ? kamu takut atau ragu ?'.

Pertanyaan ini membawa pengaruh yang sungguh aneh. Pui Ang kehilangan keramahannya. Perubahan air muka ini sempat membuat Yen Ang sedikit kuatir. Sekarang Pui Ang menatap lebih berani tajam-tajam tepat di bola mata perempuan yang dipuja pujinya. Tangannya meraih kedua tangan kekasih jiwanya :

'Yen Ang. Demi seluruh hidup ku dan seluruh hidup mu, dan seluruh hidup ku yang akan ku berikan ke hadapan mu, dan seluruh hidup yang akan kita bangun berdua'.

'Aku tidak pernah ragu atas apa yang sudah ku siapkan di dalam kepala ku'.

'Aku tidak pernah ragu atas apa yang sudah berani ku bangun dengan perlahan di dalam dasar hati'.

'Aku tidak pernah takut sedikit pun. Hanya satu yang ku takutkan. Kematian. Tapi sayang, ketakutan itu sudah lenyap dengan kehadiran mu. Tidak ada sedikit pun keraguan apalagi takut'.

'Kita berangkat ke edonia, sekarang'.

Sedikit tersentak Yen Ang berusaha menyesuaikan langkah Pui Ang karena tangannya tiba-tiba diraih dan ditarik sedikit kasar. Pui Ang terlihat sangat tidak sabar untuk segera membawa perempuan pujaan ini menuju taman edonia. Tempat di mana Yen Ang akan menguji segala kejujuran hati.

Tanpa minta ijin sedikit pun. Pui Ang menaiki kereta kuda milik Yen Ang. Yen Ang sendiri sangat terkejut atas kejadian yang sangat tidak diperkirakan ini. Kejadian yang menimbulkan perasaan aneh karena ternyata ada kelucuan, kegentaran, dan kesenangan yang luar biasa yang merasuki relung hati nya. Bibir Yen Ang melembut dan membentuk senyuman. Mata nya sungguh teduh memandangi wajah laki-laki yang mulai dipujanya. Pui Ang kelihatan sungguh serius mengendalikan kereta kuda yang seumur umur belum pernah dinaiki nya :

'Pui, sebelumnya sudah pernah mengendalikan kereta kuda seperti ini ?'

'Belum ! aku orang tidak berpunya Yen Ang, bagaimana mungkin pernah duduk di atas kereta semahal ini'

Pui Ang tidak tau diri disindir halus. Dia terus saja memacu kereta kuda yang terlihat sedikit melompat tidak sabar.

'Pui, kalau belum pernah. Kendalikan pelan-pelan. Kuda ini mahal harganya. Aku ragu engkau akan mampu menggantikan kerusakan yang akan terjadi'.

Kata-kata ini mengagetkan Pui Ang :

'Aku akan menggantikan kerusakan apapun dari kereta mahal ini dengan seluruh hidup ku'.

'Kalau begitu, paculah sembarangan supaya aku segera bisa memiliki hidup mu. Utuh'.

Kalimat terakhir diucapkan dengan penuh kelembutan. Pui Ang merasakan sesuatu yang luar biasa aneh. Di perut nya mengalir udara panas yang naik sampai ke rongga dada. Wajahnya sungguh sangat memerah dan memaksa mulutnya terbuka lebar. Pui Ang tersenyum bahagia. Dia tidak lagi serius mengarahkan pandangan ke arah jalanan. Kepalanya sudah menoleh ke arah Yen Ang yang sekarang seperti patung yang tersenyum lebar

'Yen Ang. Apa artinya bahwa hari ini....' Pui Ang penasaran bertanya.

'Hati-hati Pui. Aku menginginkan hidup mu tanpa harus mengalami kerusakan pada kereta'.

..... bersambung....

Jumat, 04 September 2009

+++ EXPIRED TIME.... 5 agt 09, 02.52....

...... Bapaknya tanya gini sama anaknya : 'ei Tongat.. kalo besar ko nanti. mau jadi apala cita cita mu nak ku ?'. nak Tongat pun menjawab dengan gamblang tanpa susah payah sedikit pun :'jadi dokter la pak. biar ku obati semua orang'. Bapaknya girang bukan kepalang. Di sebelah nya pas kali mak Tongat duduk duduk tanpa ekspresi. Waktu itu, orang ini dua lagi jaga kedai tuak nya yang tak seberapa besar. Pengunjung memang rame sekali. Cuman empat orang yang pesan minuman. Tapi suara gitar dan nyanyinya yang bikin rame. Jadi macam ada kira-kira dua puluh orang duduk waktu itu.
pak Tongat pelan pelan pegang tangan mak Tongat : 'mak. ko dengar cita cita anak kita itu mak ? mau jadi dokter dia. Bisala agak sedap nanti hidup kita waktu tua ya ?'. Yang dipegang bukannya senang. Sikit pun tak ada gambaran semangat di mata nya. Dia cuman tengok sikit mukak suami nya itu, langsung khusuk lagi sama mata yang tak ada semangatnya. Bah, nengok ini agak kuatir juga bapak si Tongat :'mak oi. kek mananya. Yang tak ko dengar nya tadi cita cita anak kita itu ? si Tongat itu oi !'. 'Ku dengar. jelas kali pun ku dengar. Apa istimewanya ?', sukak sukak mak Tongat bikin suara yang sengak. Agak naik juga pitam bapaknya si Tongat :'oi. kek mana nyaaa. Masak tak senang mamak jadi kaya nanti ?'--.... agak diam orang itu dua.....-- Tiba-tiba : 'Siapa yang tak senang ?', balas mak Tongat agak sikit naek emosinya. Diteruskan mak Tongat lagi ngomong :'itu kan cita-cita si Tongat. Cita-cita bapak sendiri apa ? supaya cita-cita si Tongat itu bisa kejadian ? apa bisa si Tongat hidup dari cita-cita ? apa tak usah kita bayar uang sekolahnya. Tak usah kau tambahin sikit gisi nya. Tak perlu lagi cari apapun supaya hidupnya bisa lebih baik dari kita. Kalo betul dia nanti lulus sekolah yang jadi dokter itu, ada uang kita untuk bayar sekolahnya ? ada ?!!!!.... Pak Tongat yang dari dulu dikenal orang sebagai 'setengah preman kampung', setengah lagi sebagai seniman. (kek mana tak jadi setengah preman dia. Judul nya saja yang preman. Sekali pun tak pernah nodong. Tak pernah merokok. Mabuk pun tak hapal. Cuman malas kerja saja dia. Masak preman suka nolong orang yang kepayahan. Preman apa macam gitu. Preman pun rajin kali partangiangan (kalau di muslim partangiangan ini dibilang 'wiridan'. Resmi lah gelarnya setengah preman gara gara itu semua). Langsung terdiam la pulak pak Tongat ini. Kek mana tak terdiam. Orang memang betul semua omongan istri nya, yang walaupun cerewet itu, giat kali nyari uang demi hidup mereka bertiga. Dengan gagah, pak Tongat berdiri tergesa-gesa. Saking cepatnya berdiri, hampir melorot mandar (baca:sarung) yang dipake. katanya gini : 'mak e. ko dengar ya. aku... pak Tongat. akan berusaha keras nyari uang sebanyak-banyaknya, supaya....' belum sempat diteruskannya omongannya, mak Tongat uda motong :'ga usah banyak crita la pak. sebanyak-banyaknya, berapa perak ? --- Kasihan kali pak Tongat, padahal dia ngucapin kata-kata itu sambil bergaya mengangkat tangan kanan lurus ke depan macam pimpinan fasis, dan tangan kiri berusaha keras menggenggam ujung mandar supaya tak jadi jatuh. Bingung dia. Tangan masi menggantung, tapi dia tak nyangka ditanya berapa perak yang bisa dikumpulkannya dan darimana. 'Sepuluh juta perak !'. Aku akan mengumpulkan sepuluh juta perak !'. Agak merah muka nya karena semangat. 'Brapa lama ! kapan yang sepuluh juta perak itu dapat pak ?'. Gong terakhir yang keluar dari mak Tongat ini membuat kedua tangannya lunglai terjatuh. Bayangkan lah sarung nya sudah melorot di mata kaki.

Mulai bermimpi
+++ Cerita itu macam pepesan kosong, tapi itu ada di kepala untuk berusaha menciptakan inspirasi. Inspirasi yang menghalangi matinya kejernihan pikiran. Saya, sekarang berpikir. Nanti, pada saat usia tertentu. Ketika harus memutuskan untuk tidak aktif bekerja formal. Setiap tiga bulan sekali. Saya dan istri, kegiatannya cuman melakukan perjalanan jauh. Kita traveling ke negara mana yang kami sukai. Saya bisa bikin gambaran yang jelas bagaimana kami sama-sama saling bantu dengan pegang tangan waktu kepayahan meneruskan ayunan kaki di sepanjang tembok besar di Cina. Bisa tergambar apa yang kami lakukan waktu duduk di bibir tembok penahan air laut di Circular Quay di Sydney. Mungkin kami sama-sama duduk selonjor menghadap pintu besar gedung yang ada di lapangan Tiananmen. Saya pasti 'paksa' istri untuk menahan panas atau angin debu demi bisa membuka mata lebar-lebar melahap habis bangunan Pyramid. Saya bisa berubah jadi pemberani untuk melenyapkan phobia akan air dalam supaya istri jauh lebih berani : 'Ayo sayang. Jangan takut, semua orang sudah pernah ada di bawah hantaman air terjun Niagara Falls ini. It is really safe down here'. Itu dilakukan pada tahun yang ini. Giliran berikutnya, kami akan berusaha kembali ke masa lalu. Dan melakukan ciuman paling gila di bawah kaki Eiffel. Mencium bibir istri pada usia tua. Nekad saja kalau ternyata, ketahanan tubuh sudah jauh berkurang sewaktu berusaha menghangatkan punggung yang dicinta sewaktu kami berada di kaki langit. Tepat di lereng bukit dimana istana langit; Lasa, berdiri anggun di atas sana. 'honey, this is it. This is the last place we can reach. Sekarang kita pulang untuk menunggu kematian !.............+++ Can you imagine it ? Semua negara yang kami ingin kunjungi, kami kunjungi.

Expired Time.
Itu semua masih cita-cita. Atau lebih tepatnya masih dalam bentuk mimpi. Tapi percayakah bahwa kenyataan hampir selalu dimulai dari mimpi ? Saya sarankan beranilah untuk sekedar bermimpi. Let say, rencana perjalanan yang kelihatan mustahil tadi. Saya sekarang berusaha keras memukuli kepala sendiri supaya terus ingat, bahwa mimpi itu sudah terlanjur diukir. Karena sudah diukir harus diselesaikan dalam bingkai kenyataan. Sekarang saya tidak takut akan kebisaan atau ketidak bisaan memastikan itu benar-benar terjadi. Apa yang ditakutkan ? Biaya besar. Lah, ada apa dengan masalah biaya besar. Biaya itu butuh uang banyak. Ya sudah, mulai sekarang cari uang. Taruhlah seluruh cita-cita itu akan menghabiskan biaya sebesar sepuluh milyar. Gila coey. Lihat uang seratus juta tumplek di depan mata saja saya belum pernah tuh. Ini seratus kali lipatnya !! Tadinya saya takut. Hampir mundur dari mimpi. Tapi, 'dorongan luar biasa' ini mulai mengiris belah-belah jantung. Ada suara yang bilang dengan jelas : 'engga usah pikirkan bisa atau tidak. Mulai saja mencari !'. Dorongan luar biasa ini merangsang napsu. Mengganggu pikiran yang suka menikmati lamunan. Uang sebanyak itu harus dicari. Dan harus ada batas waktu akhir.

Biasanya kita kenal istilah expired date. Kata ini digunakan untuk keterangan aman nya produk obat atau makanan dikonsumsi. Expired time sama dengan istilah itu. Tapi digunakan untuk batas akhir dari sebuah niat. Kalau cuman bilang :'akan mengumpulkan uang sekian banyak'. Siapa yang ga bisa ?. Tapi, kapan jumlah segitu selesai dikumpulkan ? Banyak rencana luar biasa akhirnya hanya berhenti di kertas-kertas kosong, atau tertinggal di langit-langit pikiran, karena rencananya tidak dikasih batas waktu. Pilih saja angan-angan yang paling sederhana. Tuliskan disitu apa yang anda butuhkan. Pilih lagi yang menurut kita yang paling penting didahulukan. Dan, ini yang terpenting, kapan batas akhirnya. Mulut saya akan ternganga lebar kalau pertanyaan : 'kapan uang itu bisa dikumpulkan ?', tidak bisa dijawab.
Expired time dari sebuah janji harus ditentukan. Gunanya banyak. Guna pertama, kita yakin yang kita cari itu benar-benar ada. Terlepas dari kita akan mampu atau tidak. Guna kedua, adalah orang yang sudah kita libatkan dalam janji tadi, beliau punya kesiapan mental untuk menantikan itu terjadi. Dan, bayangkan diri kita seperti prajurit perang yang kedatangannya ditunggu pulang di depan gerbang negeri. Emmm... apa ada melodi yang lebih indah di telinga dibanding kata-kata ini : 'sayang, segeralah lakukan, aku engga sabar ada di tempat angan-angan itu'.

Bikin rencana, bagus. Tapi sekedar rencana, engga bagus.
Satu point bagus sudah ada di tangan sewaktu kita berani bikin rencana. Okey, rencana pertama saya mau buka usaha pecal lele. Kemudian setelah itu berkembang, akan dibuka lagi usaha tempel ban sebagai 'second income !'. Setelah warung pecal lele dan tempel lumayan bagus berkembang, buka lagi usaha catering. Kan pas ya, catering dan tempel ban. Catering itu kan butuh kendaraan untuk antar-antar. Nah, kalo ban nya pecah atau kempes ? kan butuh tempel ban. Uang nya jadi ga kemana-mana. +Setelah nanti ketiga usaha ini bagus, coba-coba buka usaha lebih bagus di mall. Beli franchise saja. Kalau sudah gini, siapa bilang uang sejumlah itu engga mampu dikumpulkan ? Berapa tahun ? 10 atau 5 ! tinggal pilih sendiri.
Tapi, jangan la pulak kita tunggu yang sepuluh tahun itu tanpa melakukan apa-apa. Terlanjur ketuaan dan bosan nanti pasangan kita... Ya sudah, mulai saja lah dari yang lucu-lucu dulu. Yang penting rencana-rencana yang sudah rapi dicatatan satu-satu diluncurkan di jalanan.
Hhhhh... apa susahnya kerja capek dan letih lelah demi cita cita maut itu. Usia tua, sebuah rumah kecil dengan halaman luas. Ada dua buah kursi kayu oak di halaman depan. Di halaman belakang, ada meja setengah bulat dari kayu kusam dikelilingi tujuh kursi-kursi kecil. Meja yang di depan, buat berdua untuk sekedar duduk selonjor. Yang dicinta melakukan apa yang dia suka. Saya, agak tertatih membawa teko dari Cina yang sedikit retak dengan cangkir keramik. Engga masalah tangan agak bergetar menuangkan green tea panas. Yang penting suara masih tegas waktu bilang : 'honey dear, ini teh panasnya sudah siap diminum'. Engga apa-apa nanti kepalanya sedikit bergoyang berusaha menjangkau mulut ku untuk menerima hadiah ciuman.
Di meja yang ada di belakang. Ini tempat kumpul semua orang. Yang dicintai tentu pasti rajin datang mengunjungi kami yang mapan. Biar saja mereka tergelak-gelak di situ saling lempar remah roti. Toh kami tidak terganggu membolak-balik foto kenangan di segala tempat.
Ini mimpi. Yang bisa dilukis di kertas terbaik. Dipatri di hati yang kuat. Membutuhkan dorongan dari sinar mata yang jujur. 'Sayang, lakukanlah'. Hanya suara itu yang ku butuhkan !

Selasa, 01 September 2009

+++ TOUGH, say no to MOODY

Ngaku tak ngaku pun kita, sudah pasti setiap orang pernah terjebak ke dalam kondisi moody. Apa saja yang mau dikerjakan betul-betul tergantung dengan suasana hati. Kalau agak sedap perasaan kita, disuruh manjat pohon kelapa yang tinggi nya melewati istana plasa yang dipotong itu, enteng. Mau disuruh menimbun sungai deli yang joroknya minta ampun itu, dengan cuman dikasi modal sendok teh, tetap happy. Namanya lagi mood. Tapi, kalau sedang tak mood. Bah.... disodorin makanan kesukaan pun bisa tiba-tiba jadi bengis : 'apanya maksud ko ngasi-ngasi makanan ? ko pikir tak sanggup awak beli ?'. Moody bisa bikin orang lain ngeri. Coba bayangkan kalo ko punya boss yang kondisi 'kejiwaan' dalam kerjanya betul-betul moody. Bisa hajab seumur umur lo. Udah lah awak cape minta ampun ngerjain yang dia minta, tetap direpetin. Apa saja salah. Tapi, kalo lagi betabur mood yang enak, masih asik kerja aja pun awak, yang manisan senyumnya.. 'udala, uda jam 3 sore ini, uda bisa klian pulang !'. Awak bikin rusak mobil nya yang bagus, senyumnya lebar kali pun : 'ah, biasanya ituu.. namanya pun eksiden !'.
Harusnya setiap orang ngerti masalah ini ya. Kalaupun memang lagi tak enak perasaan hati nya, entah karena asik dikejar tukang tagih kredit dia, entah karena direpetin orang rumahnya karena tak naek-naek setoran ke rumah, entah karena bandal kali tukang becak mesin langganan; jangan lah pulak sampe kena ke orang lain.
Kalau jadi bos, usahakan supaya marahnya bos mu itu jangan ditumpahkan sama orang di bawah. Kasihan orang itu lo. Masak dia harus dengar bosnya marah-marah karna bos nya dimarahin sama bos nya bos nya. Banyak kali sekarang orang suka kelepasan ngomong : 'aku baru saja dimarahin bos ku, karena janji kemaren itu tak bisa ku tepati. gara gara kalian juga nya itu'. Bah, yang janji siapaaaa.. yang dimarahin siapa. Kasihan kali la orang yang kena dampaknya itu ya. Udah gaji kecil, cicilan rumah tak lunas-lunas, orang rumahnya galak kali, rencana menjadikan tempat kerja sebagai pelarian malah jadi penjara. Sempat pingsan pingsan dia karena asik kena marah saja ? siapa yang tanggung jawab. Coba... siapa yang tanggung jawab.
Seringkali lo kita engga adil. Habis kita bagi stress sama orang di sekitar, tiba-tiba enak saja kita terima telpon :'ha. an cua. okeh.. okeh.. golden yen ya. okeh. jam 12 ? okeh'. Langsung kabur sambil ha ha hi hi di blue tooth mobile phone nya. Lah, yang sudah terlanjur kebagian stress ? makin stress nunggu pak bos atau bu boss ini pulang makan siang. Yang ditunggu ? udah lupa dia sama masalah yang disebarkan.

Kalau bisa, agak tough kita, ah. Kurangi sikit cengeng-cengeng itu. Coba perhatikan sekarang. Yang cengeng itu justru orang yang punya kuasa. Dia yang tak mampu kerja, dilepasinnya marahnya sama orang yang tak bersalah. Coba ingat-ingat. Waktu para penguasa ini teken kontrak kerja sama bos nya, siapa aja yang hadir waktu itu ? Mana ada ! kecuali dia sama bos nya. Lah, kalo anak buahnya tak hadir ? apa mereka 'berhak' mendapatkan sumpah serapah ? Kalau mau adil, jangan cuman ngomelnya saja dibagi. Bagi lah yang lain-lainnya. Menjadi gentlemen itu perlu sekali lo. Gentlemen itu meningkatkan harga diri dan reputasi. Dulu, banyak sekali penguasa yang rela 'pasang badan'. Walaupun jelas-jelas yang bikin masalah adalah anggotanya, dengan gagah beliau ini kasih penjelasan : 'maafkan, saya yang salah memberi perintah'. Itu dulu. Kalau sekarang ? sedap kali tunjuk orang. Tengok saja di tipi tipi itu. Ada kasus apapun, bos nya yang sebagai penguasa, enteng saja tunjuk orang : 'ku rasa, si polan yang bikin itu. tak pernah ku kasih perintah sama dia bah. pintar pintar dia nya itu'. Bos yang kayak gini harus dikasihani. Rame rame aja bilang : 'kasihan kali bapak ya. kasihaaannn'.
Jadi anak buah pun harus tough juga. Kuatkan mental. Kalau tak senang dengan keadaan sekarang, coba menghadap bos dengan elegan. Tak perlu marah-marah, bilang aja gini : 'bos, gantian dulu kita setahun ini. saya yang jadi direktur, bapak yang jadi oppis boi'. Coba aja. Siapa tau ditampar tampari nya kita. Tapi, minimal kan sudah dicoba.
.... Usahakan lah jadi orang yang tough. Dimarahin sekali, senyum. Dimarahin dua kali senyum. Mau dimarahin berapa kali pun, senyum aja terus. Namanya nasib anak buah. Mudah-mudahan besok ada perubahan keadaan. Entahlah berubah makin baik entah makin parah. Pokoknya pasti ada perubahan. Yang jelas, orang tough tidak pernah moody. Orang tough itu, entah sebagai bos besar, bos sedang, atau pun tak bos, kelihatan kok dari aura wajah nya. Sudah pasti sinarnya lebih positif dibanding orang lain yang lemah.
Aaaahhhh... kok tiba tiba jadi orang yang tough aku ya.